Tidak bisa dipungkiri bahwa pers memiliki peran penting dalam kehidupan demokrasi. Tanpa pers, tidak ada informasi yang bisa tersalurkan, baik dari rakyat ke pemerintahannya maupun sebaliknya. Tanpa pers tidak akan ada pilar demokrasi dan tidak ada pilar penegakkan ruang publik. Kebebasan pers adalah manifestasi dari kebebasan berbicara (freedom of speech) dan bagian dari kebebasan berekspresi (freedom of expression) sesuai dengan Pasal 19 Deklarasi Universal HAM (The Universal Declaration of Human Rights).
via shutterstock |
Perkembangan dan pertumbuhan media massa atau pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pertumbuhan sistem politik di negeri ini. Bahkan sistem pers di Indonesia merupakan sub sistem dari sistem politik yang ada. Di negara yang sistem persnya mengikuti sistem politik yang ada, maka pers cenderung bersikap dan bertindak sebagai "balancer" (penyeimbang) antara kekuatan yang ada.
Terkucilnya prospek kebebasan pers merupakan bagian dari redupnya prospek demokratisasi. Tanpa kebebasan berpendapat, lebih khusus lagi yakni pers, maka kelompok masyarakat tidak mungkin ikut mewarnai proses dan substansi keputusan yang diambil, terutama berkenaan dengan penyelenggaraan kepentingan umum. Itu berarti penyelenggaraan kekuasaan publik berjalan tanpa kontrol dari masyarakat yang justru akan terkena dampak sendiri akibat keputusannya.
Demokrasi menghendaki kebebasan warga untuk berkumpul, berpendapat, dan mengemukakan kritik. Sebaliknya, pemerintahan yang antidemokrasi akan selalu mengawasi orang berkumpul, menekan pendapat, dan memberangus kritik. Cara yang konvensional adalah dengan mengatur dan mengarahkan pemberitaannya, menempatkan orang-orang nonpemerintah dalam jajaran direksi dan kepemimpinan organisasi pers.
Pers Pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, pers diikat oleh aturan-aturan ketat sebagaimana tertuang dalam UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Pada masa itu, keberadaan pers diawasi secara ketat oleh pemerintah di bawah naungan Departemen Penerangan. Pada masa Orde Baru, pers Indonesia disebut sebagai Pers Pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab, yang dimaksudkan untuk mengantisipasi hal-hal buruk di dalam pemerintahan Orde Baru sampai ke masyarakat.
Pada masa itu, pers tidak bisa melakukan apapun selain patuh pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Aspirasi masyarakat untuk pemerintah pun menjadi tidak tersalurkan. Hal ini dikarenakan komunikasi politik yang terjadi hanya top-down. Artinya, pers hanya sebagai komunikator dari rakyat ke pemerintah. Selain itu, pemberitaan yang disalurkan ke masyarakat mengenai pemerintah harus merupakan berita-berita yang menjunjung tinggi keberhasilan pemerintah. Hal yang diberitakan hanyalah sesuatu yang baik. Apabila suatu media nekat menerbitkan pemberitaan-pemberitaan miring tentang pemerintah, maka bisa dipastikan nasib media massa tersebut berada di ujung tanduk.
Pers pada masa Orde Baru sangat dikendalikan oleh pemerintah. Kontrol pemerintah terhadap pers tidak diragukan lagi, begitu juga dengan pengaruhnya. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru sangat tidak mendukung keberadaan pers. Salah satu contohnya adalah kebijakan SIUPP (Surat Izin Untuk Penerbitan Pers). Pemerintah mempunyai kekuasaan mencabut SIUPP jika media massa melakukan pelanggaran.
Salah satu kasus yang menjadi sejarah tak terlupakan adalah dua kali kasus pembredelan pada media Tempo sebagai salah satu media nasional paling berpengaruh pada masa itu. Pertama kali pada tahun 1982 karena mengkritik Orde Baru dan kendaraan politiknya Golkar pada saat Pemilu. Kedua kalinya pada 21 Juni 1994, Tempo dan dua media massa lainnya yaitu deTIK dan Editor dicabut surat izinnya setelah menginvestigasi penyelewengan pejabat negara dan dipublikasikan.
Kebebasan Pers Pasca Orde Baru (Era Reformasi)
Angin segar berhembus ketika pemerintahan Orde Baru akhirnya berakhir pada 21 mei 1998 ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan negeri ini. Pasca Orde Baru, pers tidak lagi dikekang oleh pemerintah. Pers sudah memiliki kebebasannya untuk menyuarakan suara masyarakat. Hal ini ditandai dengan kebebasan pers yang membolehkan surat kabar dan majalah terus berjalan tanpa adanya pembaharuan izin karena SIUPP sudah dihapuskan.
Kebebasan Pers di Indonesia pun seakan bangun dari tidur lamanya ditandai dengan banyaknya media massa yang bermunculan. Tumbuhnya kebebasan pers pada masa Reformasi ini merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran independensi pers di era Reformasi dapat mengisi kekosongan ruang publik yang sebelumnya manjadi celah antara penguasa dan rakyat. Artinya, Pers yang bebas dapat menjadi pilar demokrasi karena tidak ada demokrasi tanpa kebebasan pendapat.
Kebebasan Pers di era Reformasi ditandai lahirnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 32 tentang Penyiaran yang memberikan peluang seluas-seluasnya bagi kemerdekaan Pers Indonesia. Pers tidak perlu lagi merasa khawatir dicabut izinnya, meskipun informasi datang dari berbagai penjuru tidak lagi satu arah sebagaimana pada masa Orde Baru.
UU Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 2 juga menyatakan bahwa kemerdekaan pers merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Sementara Pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwa kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara yang hakiki dan dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran serta memajukan dan mencerdaskan bangsa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
b. Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan.
c. Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Posting Komentar