Ketika banyak perempuan Indonesia belum pandai membaca dan menulis, S. K. Trimurti sudah keluar-masuk bui karena aktivitas politiknya. Soerastri Karma Trimurti atau lebih dikenal sebagai S. K. Trimuti atau S.K. Trimoerti adalah seorang wartawan, penulis dan guru yang namanya tercatat dalam lembaran sejarah negeri ini. Sosok wanita cerdas ini juga turut mengambil bagian dalam gerakan merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Kolonial Belanda.
S. K. Trimurti lahir pada 11 Mei 1912 di Ngemplak Sawahan, Boyolali, Jawa Tengah dengan nama Raden Roro Soerastri. Karma adalah salah satu nama samarannya kala mengirimkan tulisan-tulisannya ke media sekaligus untuk mengelabui pemerintah kolonial Belanda. Ayahnya, Raden Ngabehi Salim Bandjaransari Mangunsuromo adalah seorang pegawai pamong praja, sedangkan ibunya adalah Raden Ayu Saparinten binti Mangunbisomo.
Pada usia 14 tahun, Soerastri menyelesaikan pendidikan dasar lima tahun di Sekolah goebernemen. Anak keempat dari delapan bersaudara ini lalu melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru Putri Surakarta selama empat tahun. Setelah lulus, ia menjadi bulponderwijzeres (guru bantu) di almamaternya di Solo. Tiga tahun kemudian, ia pindah ke Banyumas mengikuti ayahnya yang ditugaskan di kota tersebut. Di sana, ia mengajar di Sekolah Kepandaian putri pula. Selain mengajar, ia juga gemar menulis cerita pendek. Oleh karena hobinya tersebut, Soerastri tertarik pula menjadi wartawan.
Sejak saat itu, ia sering mengirim kabar dan kisah perjuangan ke berbagai koran dan majalah. Akhirnya, ia tak bisa membendung lagi keinginannya untuk menjadi wartawan. Tidak tanggung-tanggung, ia bahkan sampai berhasil menjadi pemimpin redaksi Majalah Soeara Marhaen yang terbit di Yogyakarta pada pertengahan 1930-an.
Selain menjadi wartawan, Soerastri juga berminat dalam dunia politik. Ia mengikuti rapat-rapat Boedi Oetomo, sebuah organisasi "nasionalisme jawa" yang didirikan oleh dr. Soetomo. Ia pun rajin mendengarkan pidato-pidato politik Bung Karno. Kontak dengan Bung Karno sendiri bermula pada paruh kedua 1930-an di Jakarta. Soekarno yang kala itu memimpin koran Fikiran Ra'jat di Bandung meminta kepada S. K. Trimurti untuk menyumbangkan tulisannya. Namun Trimurti menjawab "saya nggak bisa", karena ia merasa gamang dengan penulis-penulis di Fikiran Ra'jat yang kala itu diisi oleh tokoh-tokoh beken.
Meski begitu, Bung Karno terus memaksanya dengan mengatakan "harus bisa". Pada akhirnya, Trimurti pun menurut dan kemudian secara intensif ikut menulis di koran oposisi tersebut. Ia turut gencar mengkritik berbagai ketidakadilan sistem kolonialisme seraya menyerukan tekad kemerdekaan. Tulisan-tulisannya itu sering membuat pemerintah kolonial Belanda, juga kemudian pemerintah pendudukan Jepang murka.
Akibatnya, Trimurti pun sering keluar-masuk penjara. Pada tahun 1939, ia dihukum enam bulan penjara di Penjara Wanita Bulu, Semarang. Setelah bebas, ia masuk lagi ke hotel prodeo Ambarawa pada tahun 1941, dan selanjutnya dipindahkan ke Garut. Pada zaman pendudukan Jepang, ia kembali menghuni bui kempetai, polisi rahasia Jepang. Saat ditahan, ia sedang mengandung janin hasil pernikahannya dengan Mohammad Ibnu Sajuti alias Sayuti Melik, yang juga seorang wartawan pejuang.
Menjelang proklamasi kemerdekaan, dinamika politik yang berlangsung cepat menarik pasangan Sajuti Melik dan S. K. Trimurti untuk datang ke Jakarta. Keduanya menjadi anggota kelompok penekan yang mendesak agar Bung Karno dan Bung Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secepatnya. Trimurti juga sempat aktif sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, yaitu badan legislatif yang dibentuk pada 18 Agustus 1945 dimana salah satu tugasnya antara lain menetapkan Ir. Soekarno sebagai presiden dan mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada masa awal kemerdekaan, Trimurti juga aktif sebagai pengurus Partai Buruh Indonesia. Ia bahkan sempat dipercaya menjadi Menteri Perburuhan dalam Kabinet Perdana Menteri (PM) Amir Sjarifuddin pada 3 Juli 1947 - 28 Januari 1948. Selanjutnya, ia kembali dipercaya sebagai menteri dalam Kabinet PM Wilopo pada periode 29 April 1952 - 30 Juli 1953.
Ketika pemerintahan kembali ke bentuk presidensial yang ditandai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Bung Karno menawari Trimurti sebagai menteri sosial, namun ia menolaknya. Ia lebih memilih menjadi anggota di Dewan Nasional. Sejumlah aktivitas pun terus digelutinya, antara lain menjadi anggota MPRS, dan pengurus Dewan Harian Nasional Angkatan 1945.
Pada zaman Orde Baru, Trimurti sempat aktif menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Mawas Diri. Terakhir, ia terjun kembali di Partai Demokrasi Indonesia ketika Megawati, putri Bung Karno memimpin partai tersebut. Nama Trimurti juga dikenal sebagai tokoh yang menentang pemerintahan Presiden Soeharto. Bersama tokoh-tokoh yang tidak sependapat dengan penguasa Orde Baru itu, mereka membentuk petisi 50.
Perempuan yang juga dekat dengan Presiden Soekarno ini meninggal dunia di Jakarta, 20 Mei 2008 pada usia 96 tahun. S. K. Trimurti dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. (diolah dari berbagai sumber)
Posting Komentar